Pendekatan pemaduan islam sains sering menuai banyak konflik baik dari segi argumen ataupun pertentangan. untuk itu ada beberapa tokoh yang berpendapat agar memadukan islam dan sains.
1. Pendekatan "Sains Islam"
Tokoh : Sayyed Hossein Nasr, Ziauddin Sardar, Maurice Bucaille
Gagasannya :
a. Perlunya etika islam untuk mengawasi sains, Memang benar, diperlukan etika dalam membangun dan memadukan antara islam dan sains dan diharapkan tidak hanya padu namun disertai etika yang baik.
b. Perlunya landasan epistemologi islami untuk suatu sistem sains ("sains islam"), maksudnya disini landasan epistemologi yang mencakup 5 dasar pendekatan epistemologi yakni :
- Dasar 1
Islam menjelaskan bahwa
untuk mengenal alam semesta dan hakikat benda terdapat tiga
cara, ketiga cara tersebut adalah:
Indera: Yang paling penting di antara mereka adalah pendengaran dan penglihatan; Akal serta pemikiran: Dalam ruang lingkup yang terbatas dan sesuai dengan landasan-landasan serta dasar-dasarnya yang khusus, akal dapat menyingkap hakikat dengan pasti dan yakin; Wahyu: Dengan perantara manusia pilihan dan memiliki kedudukan yang tinggi dapat menjembatani hubungan manusia dengan alam gaib.
Dua cara yang pertama merupakan hal yang umum yang mana semua manusia dapat mengenal alam semesta melalui keduanya, begitu juga dua cara tersebut dapat membantu manusia dalam memahami syariat. Adapun cara yang ketiga hanya orang-orang khusus yang mendapatkan inayah Ilahi, dan orang-orang tersebut adalah para nabi Allah Swt.
Adapun penggunaan indera hanya untuk hal-hal yang dapat di persepsi dan nampak saja, begitu juga akal dapat kita aplikasikan pada permasalahan yang sifatnya terbatas dan memiliki landasan untuk itu, akan tetapi aplikasi wahyu lebih luas dan mencakup seluruh permasalahan, lebih umum dan luas dari permasalahan akidah dan hukum. Al-Qur'an menjelaskan permasalahan ini dalam beberapa ayatnya, Qs. An-Nahl ayat 78:
Indera: Yang paling penting di antara mereka adalah pendengaran dan penglihatan; Akal serta pemikiran: Dalam ruang lingkup yang terbatas dan sesuai dengan landasan-landasan serta dasar-dasarnya yang khusus, akal dapat menyingkap hakikat dengan pasti dan yakin; Wahyu: Dengan perantara manusia pilihan dan memiliki kedudukan yang tinggi dapat menjembatani hubungan manusia dengan alam gaib.
Dua cara yang pertama merupakan hal yang umum yang mana semua manusia dapat mengenal alam semesta melalui keduanya, begitu juga dua cara tersebut dapat membantu manusia dalam memahami syariat. Adapun cara yang ketiga hanya orang-orang khusus yang mendapatkan inayah Ilahi, dan orang-orang tersebut adalah para nabi Allah Swt.
Adapun penggunaan indera hanya untuk hal-hal yang dapat di persepsi dan nampak saja, begitu juga akal dapat kita aplikasikan pada permasalahan yang sifatnya terbatas dan memiliki landasan untuk itu, akan tetapi aplikasi wahyu lebih luas dan mencakup seluruh permasalahan, lebih umum dan luas dari permasalahan akidah dan hukum. Al-Qur'an menjelaskan permasalahan ini dalam beberapa ayatnya, Qs. An-Nahl ayat 78:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ
شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
Artinya : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
Adapun kata "al-Af-idah" dalam
bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kalimat "Fuâd" yang
memiliki makna "Pendengaran" dan "penglihatan" (mata hati)
serta akal dan daya fikir manusia, dan pada akhir ayat Allah Swt
menyuruh kita untuk bersyukur dan juga sekaligus
menekankan bahwa manusia harus menggunakan ketiga nikmat
tersebut, karena makna dari syukur itu sendiri adalah
menggunakan nikmat pada tempatnya yang sesuai.
Adapun mengenai wahyu, al-Qur'an Q.S An-Nahl ayat 43 :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya : "Dan tidaklah Kami mengutus laki-laki (para
nabi-nabi) sebelum kamu kecuali Kami turunkan wahyu pada
mereka, maka bertanyalah kamu pada orang-orang yang mengetahui
apabila kamu tidak mengetahui"
Manusia yang beragama akan senantiasa
menggunakan indera yang diberikan oleh Allah Swt untuk mengenal
alam jagat raya ini dan memahami agama. Kebanyakan dari seluruh
hasil persepsi indera akan menjadi dasar serta wadah
pertimbangan bagi akal, kemudian akal akan membawa dan
merumuskan hasil semua persepsi tadi untuk mengenal Allah Swt,
sifat-sifat serta segala perbuatanNya. Adapun segala yang
dipersepsi oleh ketiga jalan ini semuanya sangat berfungsi dan
dapat digunakan untuk mengungkap kebenaran.
- Dasar 2
Pada hakikatnya para nabi As
memusatkan dakwahnya pada dua perkara: akidah dan amal.
Adapun pusat pembahasan akidah berkisar pada iman akan
keberadaan Tuhan, sifat serta keagungan Ilahi, dan segala
perbuatan-Nya.[2] Sedangkan yang dimaksud dengan amal adalah
segala taklif dan kewajiban serta hukum-hukum yang
ditetapkan, yang mana manusia dalam menjalankan kehidupan
pribadi dan sosialnya harus berdasarkan hukum-hukum
tertentu dari Tuhan.
Dalam permasalahan akidah
yang menjadi tolok ukur dan standar adalah Ilmu serta Yakin,
karena kedua hal ini merupakan hujjah untuk mendapatkan
akidah yang pasti. Oleh karena itu, seorang muslim harus
mencapai pada derajat yakin dalam permasalahan akidah dan tidak
dibenarkan sama sekali taklid atau bersandar pada orang lain
dalam masalah ini.
Adapun dalam permasalahan taklif serta hukum (amal), hal yang
sangat ditekankan adalah pengamalan pada setiap strata kehidupan
manusia. Dalam hal ini, di samping yakin dalam
mengamalkannya juga harus bersandar pada penegasan syariat dan
merujuk pada seorang mujtahid yang memiliki seluruh
syarat-syaratnya. Dan ini merupakan salah satu jalan untuk
mempunyai legilitas khusus dari orang yang mempunyai wilayah
penuh atas syariat. Insya Allah pada pembahasan yang akan datang
kita akan membahas dan membincangkannya secara lebih
detail.
- Dasar 3
Pada pembahasan di atas telah kita
tetapkan bahwa untuk penetapan permasalahan akidah dan
hukum-hukum dapat di gunakan dua metode dan pendekatan yang
telah diperkenalkan, yang mana dalam hal ini adalah akal dan
wahyu. Adapun yang di maksud dari wahyu adalah kitab
samawi, yakni al-Qur'an karim dan seluruh hadits yang
silsilahnya berakhir pada nabi Saw. Seluruh hadits para Imam As
pun, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti, termasuk pada
silsilah serta sanad yang menjadi hujjah Ilahi.
Akal dan wahyu satu sama lain saling
menguatkan dalam kehujjahannya. Jika dengan hukum pasti, akal
dapat menetapkan kehujjahan wahyu maka begitu juga sebaliknya
wahyu pun menetapkan kehujjahan akal pada permasalahan
tertentu.
Al-Qur'an sering
menekankan dalam beberapa permasalahan akan peran akal dan
penggunaannya, mengajak manusia untuk merenungkan serta
memikirkan tentang keindahan dan keunikan proses penciptaan, dan
al-Quran sendiri menekankan untuk menggunakan akal untuk
membuktikan kebenaran kandungan dakwahnya. Tidak ada kitab
samawi yang kandungannya dipenuhi dengan pengetahuan dan
disertai pembuktian seperti halnya al-Quran, dan dalam al-Qur'an
terdapat pembuktian-pembuktian yang bersifat rasional
yang tidak terbatas tentang segala pengetahuan dan pembahasan
akidah.
Para Imam Ahlulbait
As, mengafirmasikan nilai argumentasi akal dalam
permasalahan yang akal dapat menghukuminya. Imam ketujuh Musa
Kazhim As menyatakan dengan jelas bahwa wahyu adalah hujjah
lahiri dan akal adalah hujjah batini.
- Dasar 4
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa wahyu merupakan dalil yang kuat dan akal adalah sebuah
lentera yang Tuhan nyalakan dalam jiwa manusia, dan selamanya
tidak akan pernah terjadi pertentangan di antara keduanya. Kalau
pun terkadang kita persepsi terjadi pertentangan maka
harus kita koreksi bahwa mungkin terdapat kesalahan dari cara
pengambilan kesimpulan kita terhadap permasalahan agama atau
terdapat kesalahan dalam pendahuluan-pendahuluan
pembuktian akal, karena Tuhan Yang Mahabijaksana tidak pernah
mengajak manusia pada dua jalan yang satu sama lain saling
berkontradiksi.
Sebagaimana
tidak terdapat pertentangan antara akal dan wahyu, begitu juga
tidak terdapat pertentangan antara ilmu dengan wahyu.
Jika kita melihat terjadi pertentangan di antara keduanya maka
kita tetap mesti menyatakan bahwa mungkin terdapat kekeliruan
dalam pengambilan kesimpulan permasalahan agama, atau bisa
juga ilmu yang berkenaan dengan masalah tersebut belum mencapai
tingkat kepastian. Pada dasarnya kebanyakan sumber dari
pertentangan itu sendiri adalah masalah yang kedua, yang dalam
hal ini terdapat konsep-konsep ilmu yang tidak pasti, namun
serta merta diklaim ilmu yang pasti itu sendiri. Dengan
keadaan seperti ini maka tentu saja bisa muncul gambaran
pertentangan di antara ilmu dan wahyu.
- Dasar 5
Adapun masalah sistem aturan yang
Mahabijak yang terdapat pada alam jagat raya ini, pada
hakikatnya hal tersebut lepas dari pemikiran dan gambaran kita
semua, yang hakikatnya merupakan suatu ketentuan, keabadian,
dan kekal. Dengan demikian, apabila manusia melalui salah
satu alat pengenalannya dapat mengungkap suatu realitas yang
aslinya adalah hakikat itu sendiri, maka harus di katakan bahwa
itu adalah kebenaran dan akurat, dan jika dalam
mengungkap suatu hakikat, sebagian ilmu sesuai dengan hakikat
itu dan sebagian lainnya tidak sesuai, maka ilmu yang sesuai
tadi merupakan kebenaran untuk selamanya dan kebenaran tersebut
tidak akan berubah hanya karena faktor berubahnya
syarat-syarat yang terdapat pada lingkungan. Dengan kata lain,
jika suatu pengetahuan terhadap realitas dinisbahkan dengan
kondisi dan zaman, ia pada suatu zaman menjadi hakikat dalam
zaman itu dan di zaman yang lain bisa menjadi berubah, maka
pengetahuan seperti ini tidak dapat diterapkan pada permasalahan
yang sifatnya takwini atau pasti, seperti contoh:
jikalau hasil dari 2 x 2 = 4 maka hasilnya mutlak seperti ini, dan
jika tidak seperti itu maka hasilnya mutlak tidak seperti itu,
dan pengetahuan seperti ini tidak mungkin pada suatu
zaman merupakan hakiki dan di zaman lain bukan hakiki.
Penisbahan suatu pengetahuan
merupakan bagian dari perkara gambaran manusia, yang kebenaran
dan pengesahannya hanya dianalisa melalui pemikiran manusia dan
tidak lebih dari itu. Sebagai contoh jikalau sebuah masyarakat
yang menjalankan sistem pemerintahan dan birokrasinya
tidak mengikuti wahyu Ilahi maka yang terjadi adalah mereka
bebas menentukan sistem aturan pemerintahan mereka, sehingga
jika suatu hari mereka bersepakat atas suatu sistem
aturan sampai pada zaman tertentu dimana kesepakatan sistem
tersebut masih berlaku di antara mereka maka sistem tersebut
merupakan suatu hakikat buat mereka pada zaman itu, akan
tetapi jika suatu hari mereka bersepakat atas hal yang
bertentangan dengan sistem pertama maka hakikat yang kedua akan
tercipta, dimana setiap kesepakatan sistem tersebut sama-sama
sebagai suatu hakikat di zamannya masing-masing, akan
tetapi setiap kesepekatan tersebut masing-masing mempunyai
realitas yang berbeda dan mempunyai batasan-batasan tersendiri.
Ketika mereka yakin bahwa apa yang mereka sepakati itu adalah
puncak dari pengetahuan mereka dan mereka yakin bahwa
itu adalah suatu hakikat maka hal tersebut untuk selamanya
merupakan hakikat dan begitu juga hal yang bertentangan dengan
hakikat tersebut selamanya batil dan tidak mempunyai landasan.
2. Pendekatan “Penafsiran (sentuhan) Islami”
Tokoh : Mehdi Ghulsani dan Bruno Guiderdoni.
Gagasan : tidak perlu membangun "sains islam" tetapi cukup memberikan penafsiran (sentuhan) islami terhadap sains yang ada saat ini.
3. Pendekatan "Islamisasi Ilmu"
Tokoh : Naquib Al-Attas, Ismail Raji’ Al-Faruqi, dan Harun Yahya
Gagasan : hendaknya ada hubungan timbal balik antara aspek realitas (sains/IPTEK) dan aspek kewahyuan (islam).
Implementasi “Islamisasi Ilmu” menurut Ismail Raji’ Al-Faruqi :
4. Pendekatan "Islamisasi Penuntut Ilmu"
Tokoh : Fazlur Rahman
Gagasan : Yang harus mengaitkan dirinya dengan nilai-nilai islam adalah pencari ilmu, bukan ilmu itu sendiri.
5. Pendekatan "Ilmuisasi Islam"
Tokoh : Prof. Dr. Kuntowijoyo (Alm)
Gagasan : Perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada Al-Qur'an (menjadikan Al-Qur'an sebagai suatu paradigma).
6. Pendekatan "Pohon Ilmu"
Tokoh : Prof. Dr. Imam Suprayogo (Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)
Gagasan : Agama sebagai pengembangan sains, serta sains dipandang merupakan bagian dari kajian keagamaan islam.
7. Pendekatan "Integrasi Interkoneksi"
Tokoh : Prof. Dr. Amin Abdullah.
Gagasan : Mempertemukan antara ilmu-ilmu agama islam (hadlarah al-nash) dan ilmu-ilmu umum (hadlarah al-’ilm) dengan filsafat (hadlarah al-falsafah).
SUMBER :
- Nurrochman, M.KOM slide materi Islam sains di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2012/2013
- http://filsafatpengetahuan.webs.com
0 komentar:
Posting Komentar